Seperti yang kita ketahui, guru merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap kualitas Sumber Daya Manusia yang akan datang. Karena guru merupakan tenaga pengajar yang akan mengajar dan mendidik para peserta didik agar dapat melaksanakan tugas sesungguhnya manusia di dunia ini, yaitu sebagai Khalifah. Sebagaimana firman Allah:
ثُمَّ جَعَلۡنَٰكُمۡ
خَلَٰٓئِفَ فِي ٱلۡأَرۡضِ مِنۢ بَعۡدِهِمۡ لِنَنظُرَ كَيۡفَ تَعۡمَلُونَ ١٤
“Kemudian Kami jadikan kamu sebagai khalifah (pengganti) di bumi ini sesudah mereka, untuk Kami perhatikan bagaimana kamu berbuat.” (QS: Yunus 14)
Setelah bumi ini diciptakan, Allah memandang perlu bumi itu didiami, diurus, dan diolah. Untuk itu Ia menciptakan manusia yang diserahi tugas dan jabatan khalifah. Kemampuan bertugas ini adalah suatu anugerah Allah dan sekaligus merupakan amanat yang dibimbing dengan suatu ajaran, yang pelaksanaannya merupakan tanggung jawab manusia yang bernama khalifah.[1]
Disamping itu Al-Qabisi berpendapat tentang kewajiban mengajar, bahwa menurutnya pemerintah dan orang tua bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan anak yang masing-masing sesuai dengan fungsinya dalam melaksanakan kewajiban mendidik/mengajar anak mereka secara keseluruhan.[2] Dari pendapat itu, jelaslah bahwa pengajaran bukan hanya kewajiban dari seorang guru ataupun tenaga pengajar, melainkan dari semua pihak. Pepatah mengatakan “pengalaman adalah guru yang berharga”. Karena itu, ilmu pengetahuan tidak hanya didapat dari seorang guru, melainkan dapat didapat dari pemerintah, orang tua, lingkungan, dll.
Namun tetap saja pengaruh guru terhadap perkembangan pendidikan dan upaya mencerdaskan bangsa sangat besar. Seorang ahli sejarah terkemuka Henry Adams, berkata: “seorang guru itu berdampak abadi, ia tidak pernah tahu, dimana pengaruhnya itu berhenti.” Maka tidak berlebihan apabila ada ungkapan yang mengatakan: “guru.....berdiri, murid.....berlari.”[3] Semakin tinggi kualitas seorang guru, maka semakin tinggi pula tingkat pembaharuan pada masa depan. Karena dengan demikian, para generasi penerus yang telah diajarkan, dididik, dan dibimbing oleh seorang guru profesional akan menciptakan pembaharuan pada masa depan. Di negara-negara timur, guru itu sangat dihormati. Orang India dahulu menganggap guru itu adalah orang suci dan sakti. Di jepang guru disebut sensei, artinya yang lebih dahulu lahir”, “yang lebih tua”, di Inggris, guru itu dikatakan “teacher” dan di Jerman “der Lehrer”, keduanya berarti “pengajar”.[4] akan tetapi guru sebenarnya bukan saja diartikan sebagai pengajar, melainkan juga sebagai pendidik. Karena menurut saya apabila seorang guru hanya mengajar, maka ilmu itu kurang meresap pada peserta didiknya.
Seorang guru harus menjalankan tugas mengajar, mendidik, dan membimbing peserta didik untuk menyongsong masa depan. Alvin Toffler mengatakan: “pendidikan harus berorientasi pada perubahan masa depan). Bahkan jauh sebelum Toffler, Sayyidina Ali r.a. berpesan: “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka adalah anak zaman, dan bukan zaman tatkala kamu dididik.”[5]
Kata diajarkan, dididik, dan dibimbing diatas mengandung arti bahwa seorang guru tidak cukup hanya mengajar atau mentransfer ilmu saja, namun perlu mendidik dan membimbing para peserta didiknya. Karena apabila seorang guru hanya mengajar atau mentransfer ilmu saja tidak akan cukup untuk mengantar para peserta didik kepada tingkat kemampuan dan pengetahuan yang diharapkan. Hal itu dapat kita lihat dari perbedaan pada lembaga pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan umum. Kita dapat membedakan perbedaan lembaga pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan umum. Dimana pengaplikasian ilmu dan prilaku para peserta didiknya terhadap lingkungan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Kalaupun ada pengecualian, mungkin karena kemauan dari si peserta didiknya. Contoh kecil lagi adalah bandingkan guru/dosen yang memberikan motivasi dan bimbingan kepada peserta didiknya sebelum mengajar dengan guru/dosen yang hanya mentransfer ilmu secara formal saja. Pastinya dampak kepada peserta didiknya akan lebih baik dengan metode guru/dosen yang pertama. Menurut Ibnu Khaldun, ilmu dan ajarannya itu merupakan amal sosial, karena bertujuan untuk kehidupan sosial juga.
Syarat guru yang profesional harus memiliki sifat dan sikap yang dapat menunjang kemajuan peserta didik dan siap bertarung dengan masa depan. Seorang guru harus memiliki akhlak yang baik, berpikir kreatif, dan juga berpikir kritis. Seorang guru harus memulai dari dirinya sendiri bila ingin berhasil dalam mengajar para peserta didik.
Sedangkan menurut Al-Gazzaly, seorang guru harus memiliki sifat sebagai berikut:[6]
1. Seorang guru harus mendalami berbagai teori pendidikan, berbagai pemikiran, serta ilmu kejiwaan.
2. Guru harus berwatak antusias dan suka mentransfer apa-apa yang ia yakini kebenarannya kepada orang lain.
3. Guru harus memiliki kemampuan untuk mentransfer ilmu dari dirinya kepada orang lain.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh dosen Media Pengajaran tentang tipe guru primitif dan guru modern. Menurut saya, seorang guru juga harus menguasai berbagai teknologi, terutama teknologi yang dapat menunjang dan menjadi perantara dalam pentransferan pendidikan. Pada saat ini, saya rasa seorang guru harus berfikir modern dan logis tanpa mengabaikan ajaran utama yaitu Al-Qur’an.
[1] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), Cet. 8, h.9.
[2] Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), Cet. 2, h. 106.
[3] A. Malik Fadjar, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, (Jakarta: Lembaga Pengmbangan Pendidikan dan penyusunan naskah Indonesia (LP3NI), 1998), Cet. 1, h. 212.
[4] Zakiah daradjat, Ilmu Pendidikan..., h. 40
[5] A. Malik Fadjar, Visi Pembaharuan..., h. 213.
[6] Ali Al-jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan..., h. 137