src: https://pict.sindonews.net |
Kemuliaan dalam islam biasa disebut
dengan Karomah. Lafadz tersebut merupakan manifestasi salah satu asma Allah Swt
yaitu al-Kariim yang berarti Yang Maha Mulia. Secara bahasa karomah
memiliki arti yang dimuliakan, seseorang yang berilmu (‘Ulama) tentu memiliki
keistimewaan tersendiri sehingga Allah memberikan kemulian padanya berupa
apapun yang Allah kehendaki. Allah Swt berfirman
اَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ اٰنَاۤءَ الَّيْلِ
سَاجِدًا وَّقَاۤىِٕمًا يَّحْذَرُ الْاٰخِرَةَ وَيَرْجُوْا رَحْمَةَ رَبِّهٖۗ قُلْ
هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا
يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ ࣖ
(Apakah
orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu
malam dalam keadaan bersujud, berdiri, takut pada (azab) akhirat, dan
mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah (Nabi Muhammad), “Apakah sama
orang-orang yang mengetahui (hak-hak Allah) dengan orang-orang yang tidak
mengetahui (hak-hak Allah)?” Sesungguhnya hanya ululalbab (orang yang berakal
sehat) yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. az-Zumar: 9)
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ
لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ
وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا
مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا
تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Mujadaalah: 11)
Selain itu,
Rasulullah Saw juga telah memberikan kabar akan keistimewaan para orang-orang
yang berilmu (‘Ulama)
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ
بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ
أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ
لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي
الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى
سَائِرِ النُّجُومِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ
الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا
الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظِّهِ أَوْ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Abu darda' berkata: 'Rasulullah sallallahu `alaihi wa sallam bersabda: 'Siapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari untuk mencari ilmu, Allah memudahkan jalan baginya (menuju) surga, dan Malaikat membentangkan sayapnya karena ridha terhadap pencari ilmu. Sesungguhnya pencari ilmu, penghuni langit dan di bumi selalu memintakan ampun kepadanya hingga ikan paus yang ada di air. Keutamaan pemilik ilmu atas hambaNya (yang lain) seperti keutamaan bulan atas semua bintang. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu, maka siapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagiannya atau bagian yang melimpah ruah' ". (Sunan Darimi Hadits No. 346)
Prof. Dr. Buya
Hamka menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Masa
perkembangan agama Islam adalah kurun waktu pada saat umat Islam telah
membangun kesultanan sebagai bentuk kekuasaan politik, diawali pada abad ke-11
M. Banyak tokoh, ulama dan sultan yang berperan aktif dalam penyebaran Islam di
wilayahnya masing-masing, di antaranya:
1.
Sultan Malik al-Saleh,
2.
Sultan Ahmad,
3.
Sultan Alaudin Riayat Syah,
4.
Sultan Alauddin,
5.
Datuk Tunggang Parangan,
6.
Sultan Zainal Abidin,
7.
Syaikh Ismail al-Minangkabawi,
8.
Syaikh Ahmad Khatib Sambas,
9.
Abdul Sayyid,
10. Abdul Rahman,
11. Abdul Shamad
al-Palimbani,
12. Syaikh Mahfudz
al-Termasi,
13. Syaikh Nawawi al-Bantani,
14. Syaikh Muhammad Yasin bin
Isa al-Padani,
15. Nurudin ar-Raniri,
16. Abdul Rauf as-Sinkili,
17. Muhammad Arsyad
al-Banjari,
18. Abdullah Mahfudz
al-Termasi,
19. Muhammad Shalih bin Umar al-Samarani.
20. Syekh Abdul Karim
al-Bantani
21. Syekh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi
22. Ahmad Marzuqi al-Batawi
23. Syekh Datuk Kahfi
24. Syekh Maulana Akbar
25. Syekh Jumadil Kubro
26. Syekh Quro
27. Walisongo,
Kepiawaian para ‘ulama
terdahulu dalam mendakwahkan ajaran Islam di Indonesia, membuat Indonesia
menjadi negeri yang jumlah umat Islam-nya terbesar di dunia. Selain itu,
Indonesia juga memiliki keberagaman suku, budaya, ras dan agama yang terbesar juga
di dunia. Keberagaman yang begitu banyaknya tidak menjadi penghalan untuk
Indonesia menjadi negara besar yang memiliki persatuan dan kesatuan yang kuat. Pemberdayaan
sumber daya kesenian, budaya, system politik justru menjadi kunci berhasilnya
dakwah Islam di Indonesia. Persatuan dan kesatuan yang kuat itu juga merupakan
warisan para ulama terdahulu, para pejuang dan founding father
Indonesia. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita menjaga dan meneruskan
perjuangan dakwah para ulama terdahulu dengan penuh kesungguhan dan
kebijaksanaan yang Islami. Nilai-nilai keteladanan dari para tokoh penyebar
Islam di Indonesia, di antaranya hidup sederhana, gigih dalam berjuang,
menguasai ilmu agama secara luas dan mendalam, sabar, menghargai perbedaan, dan
berdakwah secara damai.
Salah satu yang
tidak boleh tertinggal dalam pembahasan ‘Ulama terdahulu adalah tentu peran
para Wali Songo. Wali Songo merupakan sekumpulan tokoh penyebar Islam pada
perempat akhir abad ke-15 hingga paruh kedua abad ke-16, yang merupakan tonggak
terpenting dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa dan Nusantara. Dalam
mengembangkan ajaran Islam di bumi Nusantara para wali memulai dengan beberapa
langkah strategis yaitu (1) Tadrij (bertahap) dan (2) ‘Adamul Haraj
(tidak menyakiti). Hampir semua Wali Songo terlibat dalam perkembangan
peradaban Islam di Nusantara. Mereka memanfaatkan pesantren, kesenian wayang
dan juga pertunjukan-pertunjukan tradisional lainnya sebagai media dakwah
dengan. Wali Songo berarti Wali Sembilan yakni sembilan orang yang dicintai dan
mencintai Allah Swt. Sembilan wali tersebut dipandang sebagai ketua kelompok
dan sejumlah besar mubaligh Islam yang bertugas mengadakan dakwah Islam
di daerah-daerah yang belum memeluk Islam di wilayah pulau Jawa. Adapun
Sembilan orang wali yang diyakini masyarakat sebagai Wali Songo adalah sebagai
berikut:
1.
Sunan Gresik
2.
Sunan Ampel
3.
Sunan Bonang
4.
Sunan Drajat
5.
Sunan Kalijaga
6.
Sunan Giri
7.
Sunan Kudus
8.
Sunan Muria
9.
Sunan Gunung Jati
Salah satu ajaran
penting dari Sunan Bonang adalah penghapusan kastanisasi di masyarakat. Dalam
ajaran Islam, pengelompokan manusia berdasarkan kasta merupakan kerusakan moral
dan tidak sesuai dengan ajaran Islam, dimana tidak ada yang membedakan derajat
satu orang dengan orang yang lain melainkan ketakwaannya kepada Allah Swt.
Sunan Ampel
mengenalkan ajaran yang sangat berkaitan dengan kebiasaanmasyarakat kala itu,
yaitu ajaran Moh Limo. Moh Limo berasal dari Bahasa Jawa yaitu emoh (tidak mau)
dan limo (lima). Artinya ajaran yang mengajak masyarakat untuk tidak melakukan
lima hal yang tercela. Sunan Bonang menyampaikan kedalaman makna ajaran Islam
kepada pengikutnya melalui suluk yang dilantunkan dengan iringan alat music gamelan. Suluk sendiri memiliki arti mengenal atau
mendekatkan diri kepada Allah Swt., sehingga syair-syair yang diciptakan tidak
hanya memiliki keindahan dari unsur sastra, tetapi juga berisi tentang ajaran mengenai
kecintaan kepada Sang Pencipta Allah Swt. Salah satu suluk Sunan Bonang yang
tetap lestari sampai saat ini adalah Suluk Tombo Ati. Catur Piwulang (Empat
Pengajaran) merupakan salah satu ajaran yang disampaikan oleh Sunan Drajat,
yaitu:
1.
Paring teken marang wong kang kalunyon lan wuto
(memberikan tongkat kepada orang yang buta)
2.
Paring pangan marang wong kang kaliren (memberi makan
kepada orang yang kelaparan)
3.
Paring sandhang marang wong kang kawudan (memberi
pakaian kepada orang yang telanjang)
4.
Paring payung marang wong kang kodanan (memberikan
payung kepada orang yang kehujanan)
Sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan kepada umat Hindu, pada saat hari raha Idul Adha Sunan Kudus tidak memperbolehkan umat Islam untuk menyembelih sapi, hewan yang dianggap keramat dan suci bagi umat Hindu.